Dokumentasi : Happy Indenpendence Day 56
Awal
perjuangan rakyat Papua Barat melawan penjajah, tak hanya karena 1 Desember
1961, tetapi jauh sebelum itu telah dimulai dengan perlawanan rakyat dengan
gerilya hingga perjuangan politik yang diplomatis. Pada masa pendudukan
Belanda, akhir 1940 bermunculan beberapa partai politik Papua Barat yang turut
membangun kesadaran akan nasionalisme Papua Barat.
Partai
politik di Papua Barat saat itu yang tak ada hubungannya sama sekali dengan
partai-partai yang ada di Belanda maupun Indonesia. Partai lokal lahir sesuai
dengan kebutuhan dan kemauan politik rakyat di Tanah Papua Barat.
Kesadaran
melawan penjajah secara politik juga turut melahirkan perlawanan bersenjata
dengan bergerilya. Tonggak awal pencetusan berdirinya perjuangan bersenjata di
Manokwari, Juli 1965 oleh para eks-pasukan Batalyon Papua (PVK = Papoea
Vrijwilligers Korps). Tokoh pemimpin kharismatis gerakan ini adalah Johan
Ariks, yang waktu itu sudah berumur 75 tahun. Johan Ariks juga sebelumnya
terlibat dalam pendirian beberapa partai politik diantaranya; Gerakan Persatuan
Nieuw Guinea dan Partai Demokraticshe Volkspartij (DVP).
Pada
periode 1961 – 1970, selain dari pendirian partai Politik tidak hanya sebatas
membangun kesadaran, tetapi juga untuk melawan militerisme Indonesia. Pada
dekade ini terdapat tujuh kali Operasi Militer yang digencarkan Indonesia untuk
membasmi perlawanan dan kesadaran rakyat Papua Barat. Awal invasi militer
Indonesia, ditandai dengan terbitnya Hukum Perang (Dektrit) Trikora pada akhir
tahun 1961. Operasi Militer pertama kali dipimpin lansung oleh Mayor Ali
Murtopo dan Benny Moerdani. Setelah tahun-tahun awal pada dekade ini,
berikutnya muncul juga beberapa nama militer Indonesia yang memimpin dalam
pembantaian rakyat Papua Barat, diantaranya A.Yani (Operasi Wisnumuri, 1963
-1965), R.Kartidjo (Operasi Sadar, 1965), R.Bintoro (Operasi Bharatyudha, 1966
– 1967) dan Sarwo Edi (Operasi Tumpas, 1967 – Operasi Wibawa 1967 – 1970).
Pelaksaaan Operasi Militer pada dekade 1961 – 1970 adalah ilegal menurut hukum
Indonesia, karena pada saat itu Papua Barat belum resmi menjadi bagian dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dapat diartikan sebagai
penjajahan. Belakangan diketahui bahwa nafsu pendudukan militer Indonesia ini
diboncengi dengan kepentingan imperialis, yaitu dilaksanakannya Kontrak Karya
Freeport pada tahun 1967 sebelum pelaksaan referendum yang oleh Indonesia
diubah menjadi Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun 1969. Sebab akibat
dari niat yang busuk Indonesia dan kroninya juga sangat mempengaruhi proses
PEPERA, yaitu adanya pengubahan dari yang seharusnya, salah satu diantanya
“Satu Orang, Satu Suara” menjadi “Dewan Musyawarah”. Akhirnya pelaksanaan
PEPERA pun tidak sesuai dengan kebiasaan hukum internasional dan melanggar
Perjanjian New York tahun 1962. Sepihak oleh Indonesia rakyat Papua Barat
dipilih dan ditentukan untuk memilih dalam PEPERA hanya 1025 Orang, dari kurang
lebih 800.000 jiwa saat itu.
Pengalaman
traumatik akan kekejaman militerisme Indonesia, tak menghentikan perlawanan
rakyat Papua Barat untuk pembebasan nasional. Pada tanggal 1 Juli 1971, Seth
Jafet Rumkorem bersama Jakob Prai, Jarisetou Jufuway dan Louis Wajoi
mencetuskan “Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat “, di Desa Waris (Marvic).
Keinginan akan mendirikan negara sendiri pun terus bergema di pelosok bumi
Papua Barat, sesudah tiga tahun Proklamasi di Marvic. Pada tanggal 3 Desember
1974, di Serui lahirlah deklarasi Negara Melanesia Barat yang meliputi Sorong –
Samarai. Adapun keinginan rakyat Papua Barat untuk bebas dari cengkraman
penjajah juga sudah dan akan terus melahirkan momentum politis, salah satu
diantaranya deklarasi Negara Melanesia Barat pada tanggal 14 Desember 1988 oleh
Dr. Thomas Wapai Wanggai.
Selain
pertistiwa bersejarah, perlawanan rakyat Papua Barat terus dilakukan dengan
aksi-aksi demontrasi, diplomasi, gerilya hingga pendirian kantor-kantor
perwakilan perlawanan rakyat Papua Barat dibeberapa negara, untuk menggalang
solidaritas masyarakat internasional dan mengkampanyekan kekejaman militer
Indonesia.
1
Desember 1961, merupakan tonggak kesadaran nasionalisme Papua dengan melahirkan
manifesto politik Papua secara terbuka. Dengan menetukan nama negara : Papua
Barat, lagu kebangsaan : “Hai, Tanahku Papua” serta “Bintang Kejora” sebagai
bendera nasional dan lambang Burung Mambruk dengan semboyan “One People One
Soul”. Maka rakyat Papua sudah dan akan selalu memperingati setiap 1 Desember
sebagai kemerdekaan terjajah yang telah melahirkan manifesto Politik Papua.
Hingga
pada tahun ini, ratusan ribu rakyat Papua telah terbunuh dalam melawan dan
karena kekejaman militer Indonesia, yang juga terus menyokong kepentingan
negara dunia pertama.
PENENTUAN
NASIP SENDIRI ADALAH SOLUSI DEMOKRASI BAGI RAKYAT PAPUA..
Adalah
suatu keharusnya perlawanan mutlak tanpa kompromi dengan segala bujukan,
rayuan, dari segelintir elit pejabat Papua yang sedang menipu diri, dan dipakai
sebagai alat penindasan oleh penjajah Indonesia sebagai jembatan penindasan
secara sistematis, terstruktur dan masif, tujuannya untuk menghacurkan nasib
hidup orang Papua, maka harus dilawan melalui membangun gerakan perjuangan
pemuda, mahasiswa, dan basis rakyat yang terorganisir, terstruktur, dan masif.
Oleh
sebab itu, maka kebutuhan gerakan dalam negeri sangatlah dibutuhkan, perjuangan
melawan penjajahan Indonesia yang ilegal di atas tanah Papua. Adalah
membutuhkan gerakan perjuangan Mahasiswa, Pemuda dan rakyat Papua secara sadar,
terstruktur, sistematis, dan masif pula untuk melawan harus pemusnaan Orang
Papua lewat praktek-praktek penindasan kolonialisme Indonesia di atas tanah
Papua.
Praktek-Praktek Penindasan Dan Penjajahan Kolonialisme Indonesia di Tanah Papua. Yaitu:
1. Perampasan
tanah-tanah adat melalui perusahan-perusahan multinasional di seluruh Papua,
dengan cara menipu tuan dusun atau tuan tanah dengan perempuan-perempuan
pelacur dan uang, agar tanah dan lahan dikuasai investor asing, dan keuntungan
masuk pejabat oligarki.
2. Pelarangan
tentang sejarah Papua yang disebarkan, sejarah Papua dimanipulatif, hegemoni
penjajah disebarkan melalui kurikulum sekolah-sekolah, Universitas, dan
pendidikan yang berpatron pada sejarah Indonesia yang keliru dan sesat.
3. Saat
orang Papua berkumpul, mengorganisir, dan mengeluarkan pendapat dimuka umum
tetapi cepat dibungkam, dibubarkan, dikejar, ditangkap dan ditembak mati oleh
aparat keamanan TNI/Porli.
4. Operasi-operasi
militer secara besar-besaran di seluruh Papua, operasi intelejen, pendroupan
militer non organik dari luar ke Papua, konflik bersenjata dipegunungan Papua,
yang sengaja dipelihara sebagai bisnis Negara akhirnya rakyat Papua korban
pengungsian.
5. Pembatasan
media asing, jurnalis asing dilarang masuk ke Papua, Dewan HAM PBB dibatasi
untuk masuk Papua, pembatasan kepada Tim pencari fakta dari pasifik (PIF), wartawan
lokal dari JUBI dan SP, diteror, dipukul, ditangkap, dan ditembak mati oleh
TNI/Porli.
6. Pekerja
Advokasih HAM Papua diteror, dikejar dan dibunuh oleh TNI/Porli, Aktivis
demokrasih, lingkungan, perempuan, ditangkap dijebloskan dalam penjarah. Aktivis
kemerdekaan diteror, dikejar, ditangkap dan bahkan dieksekusi mati diluar
hukum. Sedang pelaku pembunuh dipromosi naik jabatan dalam karir militer
TNI/Porli.
7. Pembunuhan
secara sadar pada orang Papua, lewat tabrak lari, keracunan makanan di warung-warung
makan, Rumah Sakit jadi malaikat pencabut nyawa dimana-mana, program KB yang
dipaksakan harus ikut, operasi sesar pada ibu hamil diwajibkan, kesenjagan
sosial, kemiskinan yang disengaja, hingga baku mengiri akhirnya baku bunuh
antara sesama kita menjadi hal yang biasa.
8. Dogma-dogma
agama yang menyesatkan, dan yang selalu mendukung program pembangunan dari
Jakarta disebarkan sampai ke kampung-kampung, mereka mengajarkan kita untuk
takut dan tetap tunduk dengar pada aturan Negara yang mencekik leher rakyat.
9. Pendeta,
pastor, dan hamba-hamba Tuhan bergaya seperti pejabat, dan selalu bicara omong
kosong, munafik besar, bicara tentang uang nomor satu, atur bisnis dan pesta
pora dlm gereja, tetapi takut bicara tentang realitas penindasan dan pembunuhan
pada kita orang Papua.
10. Pemasok
miras (alcohol), ganja, narkotika, secara besar-besaran ke Papua dengan
memunyai label khusus IRJA, dan yang tangani bisnis kotor ini adalah pejabat
dan militer TNI/Porli, akhirnya generasi Papua hancur, semua jadi orang
pemabuk, baku bunuh, baku potong, pencuri, kesalahapahaman sesama orang Papua
sudah menjadi budaya, moral hancur dan harga diri rusak.
11. Transmigrasi
secara ilegal dengan alasan untuk pemerataan pembangunan, padahal itu adalah
omong kosong demi mempertahakan penjajahan dan kekuasaannya maka didrop
trasmigrasi ke Papua secara tertutup dan sembunyi-sembunyi.
12. Kepentingan
pejabat Papua yang rakus uang, jabatan, korupsi merajalela di setiap intasi
pemerintahan lokal di Papua, mereka dijebak bodok-bodok dalam sistem, akhirnya
orang Papua baku bunuh hanya masalah jabatan dan uang.
13. Ada
Rumah Sakit dan Sekolah-sekolah, tetapi tenaga kesehatan tidak ada, tenaga guru
tidak ada, pada dasarnya mereka harus mengapdi dengan sumpah janji untuk setia
melayani pada rakyat dengan sepenuh hati tetapi di Papua berbeda jahu, mereka
terlalu rasis, diskriminatif, pilih kasih, dan mereka menjadi alat pembunuhan
secara terorganisir dari TNI/Porli.
14. Orang
pendatang sudah menguasai sektor-sektor ekonomi, usaha-usaha, parkiran terminal
sampai yang besar yaitu; pemerintahan, politik, agama dan ekonomi dikendalikan
oleh mereka. Akhirnya orang Papua dibunuh secara mental, karakter, dan fisik,
apalagi budaya adat istiadat yang dianggap kuno, lalu orang Papua rata-rata
pejabat yang agak bandel terhadap Negara, distigma separatis dan selalu
dicurigai.
15. Tiap
aksi-aksi Mahasiswa dan rakyat Papua selalu Negara anggap dan stigma sebagai
gerombolan pengacau keamanan, gerombolan pengacau liar (GPK, GPL, KKB, Dll,)
yang harus dibubarkan dan diamankan dalam penjarah, hal ini sedang menjurus
pada penghacuran total kekebasan Hak Asasi Manusia Papua yang Universal.
Solusi
Menuju Kebebasan (Kemerdekaan)
Solusi
adalah orang Papua segera sadar, keluar dari sistem kolonialisme indonesia hari
ini yang mengikat dirimu, dan bergabung pada gerakan-gerakan pemuda dan rakyat
yang sadar, terorganisir, terstruktur dan masif. Adakan gerakan perlawanan
secara sadar, secara massal, secara terorganisir, secara damai, secara terus
menerus, secara terbuka, dan secara demokratis.
KNPB
Gorontalo 30 November 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar